Jumat, 20 Agustus 2010

Ir. Soekarno

Ir. Soekarno
Oleh: Ensiklopedi Tokoh Indonesia

Soekarno (Bung Karno) Presiden Pertama Republik Indonesia, 1945- 1966, menganut ideologi pembangunan ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901 ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan dengan bantuanmu.

Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI.

Tokoh pencinta seni ini memiliki slogan yang kuat menggantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur. Ideologi pembangunan yang dianut pria yang berasal dari keturunan bangsawan Jawa (Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, suku Jawa dan ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai, suku Bali), ini bila dilihat dari buku Pioneers in Development, kira-kira condong menganut ideologi pembangunan yang dilahirkan kaum ekonom yang tak mengenal kamus bahwa membangun suatu negeri harus mengemis kepada Barat. Tapi bagi mereka, haram hukumnya meminta-minta bantuan asing. Bersentuhan dengan negara Barat yang kaya, apalagi sampai meminta bantuan, justru mencelakakan si melarat (negara miskin).

Bagi Bung Karno, yang ketika kecil bernama Kusno, ini tampaknya tak ada kisah manis bagi negara-negara miskin yang membangun dengan modal dan bantuan asing. Semua tetek bengek manajemen pembangunan yang diperbantukan dan arus teknologi modern yang dialihkan — agar si miskin jadi kaya dan mengejar Barat — hanyalah alat pengisap kekayaan si miskin yang membuatnya makin terbelakang.

Itulah Bung Karno yang berhasil menggelorakan semangat revolusi dan mengajak berdiri di atas kaki sendiri bagi bangsanya, walaupun belum sempat berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang sejahtera. Konsep “berdiri di atas kaki sendiri” memang belum sampai ke tujuan tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa. Daripada berdiri di atas utang luar negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan (noekolonialisme).

Masa kecil Bung Karno sudah diisi semangat kemandirian. Ia hanya beberapa tahun hidup bersama orang tua di Blitar. Semasa SD hingga tamat, ia tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjut di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu ia pun telah menggembleng jiwa nasio-nalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, ia pindah ke Bandung dan me-lanjutkan ke THS (Technische Hooge-school atau Sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.

Kemudian, ia merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, si penjajah, menjebloskannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul ‘Indonesia Menggugat’, dengan gagah berani ia menelanjangi kebobrokan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas (1931), Bung Karno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, ia kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya, ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.

Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik sangat hebat. Ia pun tak mau membubarkan PKI yang dituduh oleh mahasiswa dan TNI sebagai dalang kekejaman pembunuh para jenderal itu. Suasana politik makin kacau. Sehingga pada 11 Maret 1966 ia mengeluarkan surat perintah kepada Soeharto untuk mengendalikan situasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Supersemar. Tapi, inilah awal kejatuh-annya. Sebab Soeharto menggunakan Supersemar itu membubarkan PKI dan merebut simpati para politisi dan mahasiswa serta ‘merebut’ kekuasaan. MPR mengukuhkan Supersemar itu dan menolak pertanggungjawaban Soekarno serta mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden.

Kemudian Bung Karno ‘dipenjarakan’ di Wisma Yaso, Jakarta. Kesehatannya terus memburuk. Akhirnya, pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi ini meninggalkan 8 orang anak. Dari Fatmawati mendapatkan lima anak yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Dari Hartini mendapat dua anak yaitu Taufan dan Bayu. Sedangkan dari Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mendapatkan seorang putri yaitu Kartika.

Orator Ulung
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.

“Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” kata Bung Karno, dalam karyanya ‘Menggali Api Pancasila’. Suatu ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator besar.

Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam autobiografi, karangan-karangan dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya.

Ia adalah seorang cen-dekiawan yang meninggal-kan ratusan karya tulis dan beberapa naskah dra-ma yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbit-kan dengan judul “Diba-wah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno.

Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang bermula dari tahun 1926, dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun.

Di tengah kebesarannya, sang orator ulung dan penulis piawai, ini selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup.

Di akhir masa kekuasaannya, ia sering merasa kesepian. Dalam autobio-grafinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat itu, bercerita. “Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”

Dalam bagian lain disebutkan, “Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil... Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu... Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.”

Anti Imperialisme
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme.

“Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme, telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?” pekik Soekarno ketika itu.

Hebatnya, meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS).

Pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa mudanya antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas dikedepankannya.

Sangat jelas dan tegas ingatan kolektif dari pahitnya kolonialisme yang dilakukan negara asing yang kaya itu. Namun, kata dan fakta adalah dua hal yang berbeda, dan tak jarang saling bertolak belakang.

Soekarno dan para penggagas nasionalisme lainnya dipaksa bergulat di antara “kata” dan “fakta” politik yang dicoba dirajut namun ternyata tidak mudah, dan tak jarang menemui jalan buntu.

Soekarno yang rajin berkata-kata, antara lain mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum nasionalis, agama dan komunis (1926) menemukan kenyataan yang sama sekali bertolak belakang, ketika ia mencobanya menjadi fakta. Begitu pula gagasan besarnya yang lain: marhaenisme, atau nasionalisme marhaenistis, yang matang dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan, gagasannya mengenai Pancasila.

Tokoh Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.

Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).

Tatkala memuncak ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status Palestina ketika itu, pers sensasional Arab menyambut Bung Karno, “Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik yang mayoritas Muslim itu.

Memang, pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas tidak hanya untuk negerinya namun juga negeri lain. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno dianggap sebagai pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri ia kerap dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum santri.

Sebenarnya, seberapa religiuskah Bung Karno? Bukankah ia juga dalam konsepsi Pancasila merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan mengakui lima agama. Bagaimana mungkin merangkum visi lima agama itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau si pembuat kalimat tidak memahami konteks kehidupan beragama di Indonesia secara benar?

Dalam hal ini elok dikutip pendapat Clifford Geertz Islam Observed (1982): “Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)- “hanya merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bidah”.

Sistem Politik
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.

Lalu ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam berpolitik Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, ia bersimpati pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensinya, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah, pendukung konsepsi demokrasi terpimpin. Jadi ia mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Ia mementingkan “persatuan” demi “revolusi”.

Pada tahun 1950-an, Indonesia memang ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI- hingga kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.

Kenyataan ini membuat Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara. ► e-ti/crs, dari berbagai sumber

बिओग्रफी मुहम्मद Iqbal

19/10/2008
MUHAMMAD IQBAL
Oleh: Fat Hurrahman

I. PENDAHULUAN

Muhammad Iqbal, penyair, pujangga dan filosof besar abad ke-20, dilahirkan di Sialkot, Punjab, Pakistan pada 9 Nopember 1877[1].

Dalam makalah ini, penulis mencoba mengangkat seorang pemikir, pujangga, pembaharu Islam Iqbal yang bukan saja berpengaruh di negerinya Pakistan tapi juga di Indonesia sendiri[2]. Disini penulis menitik beratkan pada pemikirannya di bidang hukum Islam walaupun disinggung sedikit tentang perannya dibidang perpolitikan.

Di dalam kehidupannya Iqbal berusaha secara serius terhadap perumusan dan pemikiran kembali tentang Islam. Meskipun Iqbal tidak diberi umur panjang tapi lewat tarian penanyalah yang menghempaskan bangunan unionist dan meratakan jalan untuk berdirinya Pakistan, memang pena lebih tajam dari pada pedang. Dia mengkritik sebab kemunduran Islam kerena kurang kreatifnya umat Islam, konkritnya bahwa pintu Ijtihad telah ditutup. Sehingga umat Islam hanya bisa puas dengan keadaan yang sekarang didalam kejumudan.

II. LATAR BELAKANG

Iqbal berasal dari keluarga miskin, dengan mendapatkan beasiswa dia mendapat pendidikan bagus[3]. Keluarga Iqbal berasal dari keluarga Brahmana Kashmir yang telah memluk agama Islam sejak tiga abad sebelum kelahiran Iqbal, dan menjadi penganut agama Islam yang taat[4].

Pada usia sekolah, Iqbal belajar Al Qur’an di surau. Disinilah Iqbal banyak hapal ayat-ayat Al Qur’an yang selanjutnya jadi rujukan pengembangan gagasannya dalam pembaharuan keislamannya.

Selanjutnya di meneruskan ke Scottish Mission School, Sialkot. Disini dia bertemu guru ternama sekaligus teman karib ayahnya, Sayid Mir Hasan. Pengaruh Mir Hasan ini sangat kuat pada dirinya ini dibuktikannya dengan menolak pemberian gelar Sir oleh pemerintah inggris pada tahun 1922, sebelum gurunya mendapat gelar kehormatan pula, yaitu Syams al- ‘Ulama.

Dalam sebuah sajaknya Iqbal mengakuinya :

Cahaya dari keluarga Ali yang penuh berkah

Pintu gerbangnya dibersihkan senatiasa

Bagiku bagaikan Ka’bah

Nafasnya menumbuhkan tunas keinginanku, penuh gairah hingga menjadi kuntum bunga yang merekah indah

Daya kritis tumbuh dalam diriku oleh cahayanya yang ramah [5].

Pada tahun 1895 Iqbal menyelesaikan pelajarannya di Scottish dan pergi ke Lahore. Disini ia melanjutkan studi Government College gurunya adalah - Sir Thomas Arnold[6]. Disini dia mendapatkan dua kali medali emas karena baiknya bahasa Inggris dan Arab karena kejeniusannya pula dia menjadi mahasiswa kesayangan Sir Thomas Arnold[7]. Arnoldlah yang mendorongnya agar -melanjutkan pendidikannya ke Inggris karena melihat kejeniusan Iqbal. Setelah selesai di Government College Iqbal belajar ke Eropa pada tahun 1905. Dari sini pengembangan intelektual Iqbal dimulai[8].

Iqbal memilih melanjutkan di Cambridge University, Inggris, ia belajar filsafat dengan Mc. Taggart, kemudian mengambil gelar doktor (Ph.D) di Munich, Jerman dan lulus pada tahun1908 dengan disertasi berjudul The development of Methapysics of Persia[9]. Didalam disertasi inilah Iqbal mengkritik tajam ajaran tasawwuf dengan mengatakan tidak mempunyai dasar yang kukuh dan historis dalam ajaran Islam yang murni. Iqbal melihat ada nilai-nilai baik yang transendental yang tak dimiliki oleh Eropa. Barat, menurut Iqbal, kehilangan semangat spritual dan terlalu menumpukan pada rasio dalam menjawab setiap problematika.”Meskipun ia mengakui Eropa baik, tapi ia yakin Islam lebih baik[10]. Dia kembali dari Eropa sebagai Pan-Islamis bahkan bisa dikatakan sebagai puritan. Perubahan spritual dan ideologis Iqbal makin dalam dari nasionalis menjadi kampiun kebangsaan Muslim dia merasa yakin bahwa antara Hindu dan Islam harus punya negara masing-masing secara terpisah dan tindakannya sendiri sudah jelas.

III. KEMBALI KE PAKISTAN.

Iqbal kembali pada tahun 1908. Dia berprofesi sebagai pengacara, guru besar di Universitas dan penyair sekaligus. Namun dia meninggalkan profesinya dan menjadi penyair sejati[11]. Ia berpendapat bahwa kemunduran ummat Islam selama lima ratus tahun terakhir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran[12]. Di masa Pakistan inilah bukunya banyak dihasilkan.

1. Karya yang berbahasa Persia Asrar-i- Khindi, Rumuz-i-Berkhudi, Payam-i-Masriq, Zaburi-i- Ajam, Jawid Namah, Pasceh Baid Aye Aqwam-i-Syarq dan Lala-i-Thur.
2. Yang berbahasa Urdu : Ilmu Al-Iqtisad (ilmu ekonomi), Bang-i-Dara, Bal-i- Jibril, Zarb-i-Kalim, Arughan-i-Hijaz, Iblis ki Majlis-i-Syura, Iqbal Namas, Makatib Iqbal, dan Bagiyat-i-Iqbal.

3. Yang berbahasa Inggris : Develoment of Methaphysies in Persia : A Contribution to the history of Moslem, Philoshopy (perkembangan metafisika Persia suatu sumbangan untuk sejarah filsafat Islam) dan the Reconstroction of Religius Thought in Islam (pengembangan kembali alam pikiran Islam)[13].

Pergeseran pemikiran Iqbal ini lebih memprlihatkan bentuknya dalam karyanya Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam. Buku ini kumpulan dari enam ceramahnya di Madras, Hyderabad dan Aligarh. Edisi pertama buku ini terbit di Lahore pada 1930, berjudul Six Lecturer on the Reconsturction of Religious Thought in Islam. Pada edisi berikutnya disederhanakan menjadi - The Reconstruction of Religious Thought in Islam disini dia telah mencapai posisinya sebagai pemikir liberal yang telah mencapai kematangan intelektual. Dia mengecam terhadap filsafat Yunani, terutama Plato, sebagai penyebab mundurnya ummat Islam[14].

IIV. PEMIKIRAN IQBAL TENTANG SUMBER HUKUM ISLAM

A. AL-QUR’AN

Sebagai seorang Islam yang di didik dengan cara kesufian[15], Iqbal percaya kalau al-Qur’an itu memang benar diturunkan oleh Allah kepada - Nabi Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya, kedudukannya adalah sebagai sumber hukum yang utama dengan pernyataannya “The Qur’an is a book which emphazhise ‘deed’ rather than ‘idea’ “ (al Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita)[16]. Namun demikian dia menyatakan bahwa bukanlah al - Qur’an itu suatu undang-undang. Dia dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan sebenarnya al Qur’an adalah - membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Qaur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah dituntut pengembangannya.Ini didalam rumusan fiqh dikembangkan dalam prinsip ijtihad, oleh iqbal disebut prinsip gerak dalam struktur Islam. Disamping itu al – Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al – Qur’an tidak melarang untuk mempertimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat juga harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. “ Akibat pemahaman yang kaku terhadap pendapat ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya”.[17]

Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al Qur’an, namun dia melihat ada dimensi-dimensi didalam al Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus dikonservasikan, sebab ketentuan itu berlaku konstan. Menurutnya para mullah dan sufi telah membawa umat Islam jauh dari maksud al Qur’an sebenarnya. Pendekatan mereka tentang hidup menjadi negatif dan fatalis. Iqbal mengeluh ketidakmampuan umat Islam India dalam mamahami - al -Qur’an disebabkan ketidakmampuan terhadap memahami bahasa Arab dan telah salah impor ide-ide India ( Hindu ) dan Yunani ke dalam Islam dan - al-Qur’an. Dia begitu terobsesi untuk menyadarkan umat islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan segi-segi legalita dan kehidupan duniawi. Sedangkan Kristen gagal dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan negara, undang-undang dan organisasi, karena lebih mementingkan segi-segi ritual dan spritual saja. Dalam kegagalan kedua agama tersebut al-Qur’an berada ditengah-tengah dan sama-sama mementingkan kehidupan individual dan sosial ;ritual dan moral. Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan kedua sisi kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali, inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.

Pandangan Iqbal tentang kehidupan yang equilbirium antara moral dan agama ; etik dan politik ; ritual dan duniawi, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam pemikiran Islam. Namun, dalam perjalanan sejarah, pemikiran demikian terkubur bersama arus kehidupan politik umat Islam yang semakin memburuk, terutama sejak keruntuhan dan kehancuran Bagdad, 1258. sehingga masyarakat Islam tidak mampu lagi menangkap visi dinamis dalam doktrin Islam - (al-Qur’an).

Akhirnya walaupun tidak ditegaskan kedalam konsep oleh para mullah lahirlah pandangan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama yang menyeret umat untuk meninggalkan kehidupan duniawi, akibatnya, hukum pun menjadi statis dan al-Qur’an tidak mampu di jadikan sebagai referensi utama dalam hal menjawab setiap problematika.

Inilah yang terjadi dalam lingkungan sosial politik umat Islam. Oleh sebab itu, Iqbal ingin menggerakkan umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al - Qur’an. Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku.

Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al – Qur’an, namun ia melihat ada dimensi-dimensi didalam al – Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus di konservasikan ( pertahankan), sebab ketentuan itu berlaku konstan[18].

B. AL-HADIST

Sejak dulu hadist memang selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam itu lewat ajaran Islam itu sendiri.

Kalangan orientalis yang pertama kali melakukan studi tentang hadist adalah Ignaz Goldziher. Menurutnya sejak masa awal Islam dam masa-masa berikutnya , mengalami proses evolusi, mulai dari sahabat dan seterusnya hingga menjadi berkembang di mazhab-mazhab fiqih. Iqbal menyimpulkan bahwa dia tidak percaya pada seluruh hadist koleksi para ahli hadist[19].

Iqbal setuju dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadist, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan Da’wah Islamiyah adalah memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadist yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadist-hadist pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abdul Malik dan Al Zuhri telah membuat koleksi hadist tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadist daripada koleksi belaka.

Oleh karenanya, Iqbal memandang perlu umat Islam melakukan studi mendalam terhadap literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyu-Nya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al – Qur’an.

Pandangan Iqbal tentang pembedaan hadist hukum dan hadist bukan hukum agaknya sejalan dengan pemikiran ahli ushul yang mengatakan bahwa hadist adalah penuturan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw.yang berkaitan dengan hukum; seperti mengenai kebiasaan-kebiasaan Nabi yang bersifat khusus untuknya, tidak wajib diikuti dan diamalkan.

C. IJTIHAD

Katanya “exert with a view to form an independent judgement on legal question”, (barsungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadist maupun al-Qur’an mamang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut, disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh para ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul, sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazdhab), Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, Iqbal membagi kualifikasi ijtihad kedalam tiga tingkatan, yaitu :

1. Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja.

2. Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab.

3. Otoritas Khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzdab.

Namun Iqbal lebih memberi perhatian pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl- al- sunnah, tetapi dalam kenyataannya telah dipungkiri sendiri sejak berdirinya madzhab-madzhab. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam satu sistem hukum al Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis.

Akibat ketatnya ketentuan ijtihad ini, akhirnya hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang. Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan para ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konskuensinya, hukum Islam pun statis tak berkembang selama beberapa abad. Iqbal mendeteksi penyebab kemunduran Islam itu ada tiga faktor :

1. Gerakan rasionalisme yang liar, dituduh sebagai penyebab disintegarasi umat Islam dengan melempar isu keabadian al - Qur’an[20].Oleh karena itu, kaum konservatif hanya memilih tempat yang aman dengan bertaklid kepada imam-imam mazhab. Dan sebagai alat yang ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam[21]. Disamping itu, perkembangan ini melahirkan fenomena baru, yaitu lahirnya kecendrungan menghindari duniawi dan mementingkan akhirat dan menjadi apatis. Akhirnya Islam menjadi lemah tak berdaya.

2. Setelah Islam menjadi lemah penderitaan terus berlanjut pada tahun 1258 H kota pusat peradaban Islam diserang dan diporak-porandakan tentara mongol pimpinan Hulagu Khan.

3. Sejak itulah lalu timbul disintegrasi. Karena takut disintegrasi itu akan menguak lebih jauh, lalu kaum konsrvatif Islam memusatkan usaha untuk menyeragamkan pola kehidupan sosial dengan mengeluarkan bid’ah-bid’ah dam menutup pintu ijtihad. Ironisnya ini semakin memperparah keadaan dalam dunia Islam.

Bagi Iqbal untuk membuang kekakuan ini hanya dengan jalan menggalakkan kembali ijtihad-ijma’ dan merumuskannya sesuai dengan kebutuhan zaman modern saat sekarang. Namun demikian, rumusan ijtihad juga harus tetap mengacu kepada kepentingan masyarakat dan kemjuan umum. Bukan berdasarkan pemikiran-pemikiran spekulatif subjektif yang bertentangan dengan semangat dan nilai dasar hukum Islam.

Oleh karenanya Iqbal memandang perlu mengalihkan kekuasaan ijtihad secara pribadi menjadi ijtihad kolektif atau ijma’. Pada zaman modern, menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili madzhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah satu-satunya bentuk paling tepat bagi ijma’. Hanya cara inilah yang dapat menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang selama ini telah hilang dari dalam tubuh umat Islam[22].

V. ANALISIS

Dari pemikiran-pemikiran Iqbal diatas tadi, sudah saatnya kita bergerak dan tidak terpaku dengan keadaan sekarang didalam kejumudan. Kita ingin umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al - Qur’an. Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku.

Dan jangan sampai kebebasan yang ada disalah gunakan untuk kepentingan sendiri dan golongan dengan mengatas namakan hukum agama. Kita sekarang memang sedang krisis ketauladanan. Yang ada hanya pembodohan umat dimana-mana. Hukum dibuat bagai mainan. Bahkan yang lebih parah lagi kalau sudah seorang ulama memperalat masyarakat Islam hanya untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga.

VI. PENUTUP

Muhammad Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam secara liberal dan radikal.

Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak dan perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hukum Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah hukum Islam memberi jawaban yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak dan perubahan ini?. Dengan tepat Iqbal menjawab, “bisa, kalau umat Islam memahami hukum Islam seperti cara berfikir ‘Umar Ibn Al Khathtab”.

[1] Muhammad Iqbal. Drs., “Rekonstruksi Pemikran Islam”, Kalam Mulia, 1994, hal. 1

[2] Ibid, hal. 126

[3] Ali. H. M., “ Alam Pemikiran Islam di India dan Paskistan”, Mizan, Bandung 1993. hal. 173

[4] Muhammad Iqbal. Drs, op.cit, hal. 44

[5] Ibid., hal. 46

[6] Loc. cit

[7] H.M Mukti Ali, Op. Cit., hal. 174

[8] Muhammad Iqbal. Drs, Op.cit,, hal. 47

[9] Ihsan Ali Fauzi dan Nurul Agustina, Op. Cit., hal. 143

[10] Muhammad Iqbal. Drs., Op., Cit., hal. 49

[11] Muhammad Iqbal. Drs, op.cit,, hal. 51

[12] Harun Nasution, “Pembaharuan dalam Islam”, Bulan bintang, Jakarta, 1987, Cet. Ke-05 hal. 191

[13] Departemen Pendidikan Nasional.,”Ensiklopedi Islam”,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002

[14] Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal. 59

[15] Ibid., hal. 44

[16] Ibid., hal. 67

[17] Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal. 68 - 69

[18] Ibid., hal. 69 - 73

[19] Ibid., hal. 74 – 75

[20] Ibid., hal. 76-84

[21] Harun Nasution, Op. cit hal. 191

[22] Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal.84 - 92

http://udhiexz.wordpress.com

Jumat, 06 Agustus 2010

Kunci Jawaban Placement Tes P2kk

Kunci Jawaban Placement Tes P2kk

1. Macam - macam Thaharah
Thahharah terbagi dalam 2 bagian :
1. Suci dari hadats ialah bersuci dari hadats kecil yang dilakukan dengan wudhu atau tayamum, dan bersuci dari hadats besar yang dilakukan dengan mandi.
2. Suci dari najis ialah membersihkan badan, pakaian dan tempat dengan menghilangkan najis dengan air.
2. Makmum yang datang terlambat pada saat shalat berjamaah, sementara imam sudah mengerjakan sebagian rukun shalat/ beberapa rokaat
3. Dzuhur dengan Ashar, Magrib dengan Isa.
4. Shalat sunah yang dikerjakan sebelum atau sesudah shalat wajib
5. Tata Cara Shalat Jenazah

Dalam tata cara shalat jenazah ini terdapat perbedaan tentang jumlah takbir, ada yang berpendapat empat kali, lima kali takbir, dan enam kali takbir sebagaimana dalam hadits:
(584) وَعَنْ عَبْدِالرَّحْمَانِ اَبِى لَيْلَى قَالَ: كَانَ زَيْدُبْنُ اَرْقَمَ رَضِيَاللهُ عَنْهُ يُكَبِّرُ عَلَى جَنَائِزِنَا اَرْبَعًا، وَاِنَّهُ كَبَّرً عَلَى جَنَازَةٍ خَمْسًا، فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ: كَانَ رَسُوْلُاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُهَا (رواه مسلم والاربعة)
(585) وَعَنْ عَلِىٍّ رَضِىَاللهُ عَنْهُ، اَنَّهُ كَبَّرً عَلَى سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ سِتًّا وَقَالَ: اِنَّهُ يَدْرِيٌّ (رواه سعيدبن منصور، واصله فى البخاريٌّ)

Namun, dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan tata cara Shalat Jenazah dengan empat kali takbir

a. Takbir Pertama
Pada takbir pertama ini membaca Membaca Surat Al-Fatihah dan membaca shalawat sebagaimana bacaan shalawat ketika Tahiyat sebagaimana dalam sebuah hadits disebutkan:
(585) وَعَنْ جَابِرٍ رَضِىَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يُكَبِّرُ عَلَى جَنَائِزِنَا أَرْبَعًا وَيَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فِى التَّكْبِيْرَةِ الاُولَى (رواه الشافعى باسناد ضعيف)
(586) وَعَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِاللهِ بْنِ عَوْفٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهَ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ عَلَى جَنَازَةٍ، فَقَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ فَقَالَ: لَِيَعْلَمُوْا أَنَّهَا سُنَّةٌ (رواه البخارى)

b. Takbir Kedua, ketiga dan keempat
Pada takbir ini membaca do’a sebagaimana yang dintohkan Rasulullah Saw.
وَعَنِ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: صلى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَلَى جَنَازَةٍ. فَحَفِظْتُ مِنْ دُعَائِهِ "اَللهُمَّ اغْفِرْلَهُ، وَعَافِهِ، وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاَغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَاالدَّنَسٍ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَأَدْخِلْهُ الجَنةَ، وَقِهِ فِتْنَةِ الْقَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ" (رواه مسلم)

وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم اِذَا صَلَّ عَلَى جَنَازَةٍ يَقُوْلُ: "اللهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا، وَمَيِّتِنَا، وَشَاهِدِنَا، وَغَائِبِنَا، وَصَغِيْرِنَا، وَكَبِيْرِنَا، وَذَكَرِنَا، وَأُنْثَانَا، اللهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الاِسْلاَمِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الاِيْمَانِ. اللهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ، وَلاَ تُضِلَّنَا بَعْدَهُ"(رواه مسلم)

Dalam Riwayat Ahmad, Disebutkan Pula:
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: صلى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَلَى جَنَازَةٍ فَقَالَ: "اللهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا، وَصَغِيْرِنَا وَكَبِيْرِنَا، وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا، اللهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الاِسْلاَمِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الاِيْمَانِ. اللهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ، وَلاَ تُضِلَّنَا بَعْدَهُ"(رواه أحمد وأصحاب السنن)

Lalu ditambahkan dengan do'a yang sebagaimana di dalam sebuah hadits disebutkan :
قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: دَعَا رَسُوْلَالله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فِى الصَّلاَة عَلَى الجَنَازَة فَقَالَ: "اللهُمَّ أَنْتَ رَبُّهَا، وَأَنْتَخَلَقْتَهَا وَأَنْتَ رَزَقْتَهَا، وَأَنْتَ هَدَيْتَهَا للاِسْلاَم، وَأَنْتَ قَبَضْتَ رُوْحَهَا، وَأنْتَ أعْلَمُ بِسَرِّهَا وَعَلاَ نِيَتَهَا، جِعْنَا شُفَعَاءَ له، فَاغْفِرْله ذنبه".
c. Salam
Setelah seleai berdo’a lalu diakhiri salam, salam seperti biasa dilakukan dalam Shalat-Shalat yang lain dengan mengucapkan:
أَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ الله
Namun ada perbedaan pendapat dikalangan Ulama' tentang jumlah sala, ada yang satu ada pula yang dua, untuk pembahasan ini bisa dilihat dalam Shahih Fiqhu As-Sunnah Karya Abu Malik Kamal.
6. Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-Maqbulah
7. Ibadah mahdhoh:
a. ibadah yang tata cara dan upacaranya ditentukan dan di contokan langsung oleh Rasulullah Saw
b. Sifatnya ghairu ma’qulil ma’na (irrasional)
Ibadah ghaira mahdhoh:
a. ibadah yang tatacara dan upacaranya tidak ditentukan secara langsung
b. sifatnya ma’qulil ma’na (rasional)
8. Aqidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah
9. Adalah salah satu ormas Islam besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW dan isu yang di bawanya adalah pertama tajdid (pembaharuan) kedua Puritan (pemurnian agama dari TBC)Berdasarkan situs resmi Muhammadiyah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.
10. Islam memandang bahwa pada hakikatnya relasi akal dan iman dalam dialektika ilmu merupakan hubungan yang bersifat komplementer. Artinya, kapasitas keilmuan seseorang menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan derajat keimanan. Ilmu dan iman bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan, tapi dipadukan untuk membangun fondasi tauhid, untuk menciptakan sebuah harmoni kehidupan sebagai wujud Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
11. Al-Qur’an: lafadz dan maknanya langsung dari Allah SWT. dianggap ibadah membacanya, sedangkan Hadist: hanya maknanya saja dari Allah sedangkan lafadznya bukan dan tidak dianggap ibadah membacanya
12. fungsi Hadist 1) Menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an 2) Memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global 3) Membatasi kemutlakan ayat Al qur`an
13. Secara bahasa ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran dan as-Sunnah. Rasulullah saw pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud sebagai berikut : " Berhukumlah engkau dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu engkau temukan pada dua sumber tersebut. Tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka ijtihadlah ". Kepada Ali bin Abi Thalib beliau pernah menyatakan : " Apabila engkau berijtihad dan ijtihadmu betul, maka engkau mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ijtihadmu salah, maka engkau hanya mendapatkan satu pahala ". Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement. Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro'yu mencakup dua pengertian :
a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh al-Qur'an dan as-Sunnah.
b. Penggunaan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau hadits.
Adapun dasar dari keharusan berijtihad ialah antara lain terdapat pada al-Qur'an surat an-Nisa ayat 59.
14. Tafsir Secara etimologi, tafsir berarti menjelaskan (al-idhah), menerangkan (al-tibyan), menampakan (al-izhar), menyibak (al-kasyf) dan merinci (al-tafshil). Kata tafsir terambil dari kata al-fasr yang berarti al-ibanah dan al-kasyf yang keduanya berarti membuka (sesuatu) yang tertutup (kasyfu al-mughaththa). Sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa kata tafsir terambil dari kata at-tafsirah, dan bukan dari kata al-fasr yang berarti “sebutan bagi sedikit air yang digunakan oleh seorang dokter untuk mendiagnonis penyakit pasien”. Sedangkan Tafsir secara istilah Pengertian tafsir menurut al-Kalby di dalam kitabnya at-Tashil “mensyarhakan al-quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya ataupun dengan najuannya”. Sedangkan menurut az-Zarkasyi di dalam kitab Burhannya “menerangkan makna-makna al-quran beserta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya”. Menurut hakikatnya tafsir ialah “mensyarahkan lafadz yang sulit dipahami oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud. Yang demikian itu adakalanya dengan menyebut muradifnya atau yang mendekatinya atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melalui beberapa petunjuk” seperti yang diungkapkan asy-Syikh Thahir al-Jazairi.
15. Hadist shahih: 1) Sanadnya bersambung, 2) diriwayatkan oleh orang yang adil (seorang Muslim, bersetatus Mukallaf (baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.) 3 )diriwayatkan orang yang dhobith (Maksudnya masing-masing perowinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan dalam dada maupun dalam kitab). Sedangkan Hadist dhoif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan.

Jumlah Takbir Shalat Jenazah

Jumlah Takbir Shalat Jenazah
Para sahabat berbeda pendapat tentang jumlah takbir shalat jenazah, dari tiga kali takbir hingga tujuh kali takbir. Tetapi, para ulama di berbagai negeri menyebutkan bahwa jumlah takbir dalam shalat jenazah adalah empat kali, kecuali Ibnu Abi Laila dan Jabir bin Zaid menyatakan bahwa jumlah takbir shalat jenazah adalah lima.
Sebab perbedaan pendapat : Perbedaan atsar seputar hal ini. Diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah RA, dia berkata,

“Rasulullah SAW berkabung saat hari kematian raja Najasyi, kemudian beliau keluar bersama para sahabat ke tempat shalat dan berbaris bersama mereka. Lalu bertakbir empat kali."

Hadits tersebut disepakati ke-shahih-annya. Karena itulah jumhur ulama di berbagai negeri berpedoman kepada hadits tersebut.
Ada hadits lain semakna yang menyebutkan,

"Bahwa Rasulullah SAW shalat di atas kuburan orang miskin dan bertakbir empat kali. "

Muslim juga meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Laila. Dia berkata, "Zaid bin Arqam bertakbir atas jenazah empat kali, dia juga takbir atas jenazah lima kali. Kemudian kami menanyainya dan menjawab, 'Rasulullah SAW pernah takbir seperti itu'."
Diriwayatkan dari Abu Khaitsamah dari ayahnya, dia berkata, “Rasulullah SAW takbir atas jenazah empat kali, lima kali, enam kali, tujuh kali dan delapan kali. Hingga (saat) raja Najasyi meninggal dunia, orang-orang pun berbaris di belakang beliau, dan beliau bertakbir empat kali, lalu selalu bertakbir empat kali, dan tidak berubah hingga beliau wafat."
Dalam hadits ini terdapat hujjah untuk jumhur.


Ref : Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd

Takbir Setelah Takbir Pertama Dalam Shalat Jenazah< Sebelumnya

Rabu, 26 Mei 2010

Perlawanan terhadap Neodinastiisme

Memang aparat yang berwajib sudah mengamankan atau menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat aksi perusakan puluhan mobil dalam kasus pemilu kada Mojokerto. Namun, cukupkah dengan penangkapan itu, masalah aksi massa dituntaskan atau tak akan terulang di tempat lain? Benarkah berpuluh-puluh pemilu kada yang akan digelar di Indonesia pada 2010, selain di Mojokerto, tidak akan menghasilkan konflik yang berbuah radikalisme sosial atau praktik vandalisme?

Barangkali tidak akan ada satu orang pun yang berani menjamin atau menggaransi Pemilu Kada 2010 ini benar-benar akan menjadi pemilu kada yang steril dari kekerasan, termasuk aparat keamanan sekalipun. Pasalnya dalam bangunan pemilu kada ini, tersimpan 'tsunami politik' yang memungkinkan suatu ketika akan meledak dan membanjiri kehidupan masyarakat dan negara ini.

'Kekecewaan' merupakan kata yang tepat dialamatkan untuk menerjemahkan realitas pemilu kada yang menyimpan beragam bentuk penyimpangan moral, agama, dan tatanan berpolitik. Dalam pemilu kada, mulai dari saat penjaringan calon hingga pemilihan (pemungutan suara), sulit untuk tak dinodai berbagai bentuk praktik kecurangan, keculasan, nepotisme, diskriminasi, ketidaktransparanan, ketidakprofesionalan, dan peminggiran (pengebirian) norma-norma kebenaran.

Salah satu praktik anomali pemilu kada yang membuat masyarakat dikecewakan berat adalah praktik neodinastiisme atau dinasti gaya baru yang dibangun parpol atau pemain-pemain yang berkepentingan mendulang untung saat diselenggarakan pemilu kada. Dinasti gaya baru ini tidak selalu dari elemen keluarga sendiri, tetapi juga dari elemen lain yang disulap dan diberikan tempat sebagai bagian dari keluarga, yang karena daya tawarnya sangat tinggi atau menguntungkan, akhirnya elemen elite itu dijadikan sebagai kandidat pemimpin daerah.

Sebenarnya sudah lama 'orang asing' atau sosok yang semula tidak dikenal dalam salah satu partai tiba-tiba mendapatkan tempat dalam konvensi pemilihan kandidat pemimpin daerah, tetapi karena sang calon itu mempunyai akses kekuasaan dan dukungan uang berlimpah, akhirnya oleh pengurus partai atau 'broker' politik, kandidat itu diberi jalan masuk dan bahkan memenangi pertarungan dalam memperebutkan rekomendasi di pengurus pusat (parpol).

Memang sudah sering kandidat yang diajukan tidak satu, tetapi ada sejumlah kandidat lain. Akan tetapi, dengan dalih 'semua diserahkan' kepada pengurus pusat, elite parpol di daerah, yang menjadi penyelenggara pesta demokrasi, bisa berlindung secara politik atas terpilihnya kandidat tertentu.

Apologi politik yang digunakan penyelenggara atau pengurus parpol di daerah juga tidak lepas dari dua hal. Pertama, kemungkinan tidak terpilihnya kandidat dari pimpinan pusat yang sebenarnya kandidat itu mendapatkan dukungan publik atau mayoritas suara. Kedua, memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa sebenarnya pemilihan kandidat di tingkat internal saja sudah melalui jalan atau 'birokrasi' berlapis-lapis. Ketiga, lobi politik dengan kemampuan uang bisa membuat kondisi yang semula mission imposible menjadi mission possible.

Dalam ranah tersebut, penyelenggara parpol sebenarnya membuka ruang kerawanan terhadap timbulnya konflik dengan masyarakat (konstituen), pasalnya apologi politik yang dibangunnya itu, mengisyaratkan kalau jagat politik di negeri ini, khususnya di internal parpol, telah membudayakan pemanfaatan ruang liberal bagi siapa pun yang bersyahwat membeli rekomendasi atau membuat langkah spektakuler dan berani dengan membalik paradigma dari yang tidak mungkin menjadi serbamungkin.

Neodinastiisme yang semula dinilai kandidat sebagai komunitas yang tak mungkin mengakomodasinya bisa digiring dengan kekuatan akses politik dan kapabilitas ekonominya untuk menjadi kekuatan yang mendukung dan membesarkannya. Dari sisi historis yang semula nihilitas misalnya, akhirnya berhasil dihilangkannya dan digantikan dengan identitas sulapan bahwa ia pernah menjadi pengabdi dan pembesar partai akibat 'peran instannya' yang mampu merangkul berbagai elemen strategis parpol.

Dalam kasus tersebut, bukan hanya kaderisasi parpol yang sering kehilangan tempat untuk mengaktualisasikan diri dalam mengisi jabatan strategis, melainkan pendidikan politik internal parpol yang berbasis militansi ideologi juga sulit dipertahankan, apalagi dikembangkan. Elemen parpol yang merasa kalah bersaing dengan elite berduit dan kekuatan politik 'tangan-tangan gaib' (the invisible hands) akhirnya lebih memilih minggir atau menjadi kelompok garis keras yang terpaksa melakukan perlawanan, baik dengan cara bersikap kritis maupun membangun gerakan jalanan.

Goenawan Faroek (2009) mengingatkan bahwa akibat praktik yang menodai pemilu kada lewat berbagai bentuk perbuatan adigang-adigung, pola siluman dan sulapan dalam penentuan sosok kandidat pemimpin kelompok, politik dan kekuasaan atau pemenangan budaya anomali, akhirnya konstituen yang merasa praktik demikian tidak sepantasnya dibiarkan berlanjut dan mencengkeram demokrasi terdesak untuk menjatuhkan opsi dalam bentuk membangun gerakan radikalisme dan vandalisme.

Budaya anomali dalam perekrutan kandidat pemimpin daerah dalam internal parpol tidak bisa dianggap ringan. Pasalnya budaya 'cacat' demikian, tentulah tidak akan dibiarkan terus-menerus mencengkeram masyarakat, khususnya oleh kader-kader yang merasa hak demokratisasi dan progresivitasnya dihambat dan terancam mengalami kematian akibat dilindas praktik korporatisme politik atau neodinastiisme.

Neodinastiisme hanya akan membuat atmosfer kompetisi di internal parpol menjadi tidak sehat. Istilah 'pemberian kesempatan sama' dalam memenangi konvensi tetap sulit dimenangi kandidat yang miskin modal, meski dalam ranah historis parpol sudah terbilang kaya pengabdian. Sebab dalam neodinastiime ini, kemampuan lobi politik dengan kekuatan uang sudah sering terbukti lebih mujarab jika dibandingkan dengan sekadar bermodal sikap teguh atau militan pada parpol.

Komunitas kader militan merupakan kelompok strategis yang diharapkan tetap gigih melawan berbagai bentuk neodinastiime. Perlawanan yang sepatutnya digencarkan pada neodinastiime ini bukan dengan jalan menggelar radikalisme dan vandalisme. Pasalnya perlawanan demikian laksana menciptakan lawan baru yang berakar dari masyarakat, sedangkan masyarakat merupakan 'proyek fundamental' yang digunakan ajang menguji dan membesarkan parpolnya.

Selain itu, yang terpenting, perlawanan terhadap neodinastiime bukan ditahbiskan untuk mengikuti dan menghamba kepada syahwat merebut kekuasaan, melainkan demi tegaknya demokrasi dan aturan main yang berbasiskan kejujuran, transparansi, kebenaran, dan keadaban. Tanpa aturan main berbasis nilai adiluhung sejak di internal parpol hingga ke ranah pemilihan (gelar suksesi), berbagai bentuk praktik barbar di masyarakat sulit dicegah terjadinya.



Oleh Prof Dr Bashori Muchsin, MSi
Guru besar Universitas Islam Malang

Jumat, 21 Mei 2010

Sekber Dipandang Sebagai Metakonstitusional

JAKARTA--MI: Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin menggambarkan betapa
dahsyatnya kekuasaan sekretariat gabungan (Sekber) yang saat ini duduk
bercokol Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie sebagai ketua harian.

Hal itu dianalogikan dari adanya istilah metafisika yang merujuk pada pengertian hal-hal yang di luar dunia fisik, bahkan beberapa menafsirkan hal ini terhadap hal-hal gaib (supernatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata.

Keberadaan Sekber dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak pernah tersirat maupun tersurat dalam konstitusi, tetapi ungkap Irman, harus diakui mempunyai kekuatan yang nyata untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan. "Ini seperti bayang-bayang yang mempunyai kekuasan untuk mengontrol lembaga eksekutif dan legislatif dalam satu wadah," ungkap Irman di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (21/5).

Posisi Sekber saat ini dinilai sebagai bibit penyakit kanker sistem tata negara di Indonesia, dimana dalam satu wadah disatukan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Dan permasalahan inilah yang menurut Irman tidak saja menjadi bentuk pengkhianata terhadap mandat konstitusi, tetapi juga terhadap kedaulatan rakyat.

Meskipun begitu, Irman enggan menyebutnya sebagai inkonstitusional, tetapi lebih pada metakonstitusional. Tidak bisa inkonstitusional karena hak untuk berkumpul dan berserikat dijamin oleh UUD 1945. Namun, keberadaan Sekber ini jelas telah meniadakan fungsi check and balances parlemen terhadap eksekutif, begitu pula sebaliknya, eksekutif tidak bisa memutuskan kebijakan secara terbuka yang memang menjadi hak prerogratif eksekutif.

Irman menyebut, kewenangan yang dimiliki Sekber koalisi bahkan bisa menentukan hitam dan putih Indonesia. The real president, dan pemegang power adalah sekber. Hitam putih negara putih tidak lagi melalui pranata kenegaraan, dan cukup ditentukan di Diponegoro," ujar Irman. Bahkan kalaupun tetap dilanjutkan keberadaan Sekber ini, Irman mengkhawatirkan, daulat rakyat hanya sekadar manis di bibir saja. "Yang ada sekarang daulat Setgab (Sekber)," tandasnya. (ST/OL-03)

Kamis, 20 Mei 2010

Menteri: "Outsourcing" Sulit Dihapus

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, berpendapat, praktik outsourcing atau pemanfaatan tenaga kerja melalui perusahaan pemborong pengadaan tenaga kerja, sulit dihapus. Namun, hal itu perlu diatur seketat mungkin agar tidak merugikan pekerja.

"Pemerintah akan berusaha mengurangi, sedang untuk menghapus tentu sangat sulit karena praktek itu tumbuh di masyarakat sebagai gejala sosial yang tidak terelakkan," katanya kepada wartawan setelah mengukuhkan pengurus Asosiasi Perusahaan Peduli Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan (APPK3L) di Batam, Kamis (20/5) malam.

Muhaimin mengatakan, pengaturan secara ketat agar outsourcing tidak merugikan tenaga kerja mungkin bisa dilakukan melalui penyempurnaan Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaaan. "Sementara ini, untuk jangka pendek, pemerintah akan mengatur secara ketat," katanya.

Ia mengatakan praktek outsourcing menjadi salah satu faktor penyebab amuk pekerja dalam negeri di PT Graha Trisaka Industri, pengelola kompleks industri galangan kapal Drydocks World Graha, Tanjunguncang, Batam, pada 22 April 2010. Kejadian itu, katanya, menunjukkan diperlukan komitmen para pihak terkait perbaikan.

Di tempat yang sama, Ketua Kamar Dagang dan Industri Kepulauan Riau, Johannes Kennedy Aritonang menyatakan, akar berkembangnya outsourcing atau pengadaan tenaga kerja secara borongan adalah UU No 13/2003. UU itu, kata Johannes, mewajibkan perusahaan membayar pesangon bagi setiap pekerja yang diberhentikan apapun alasannya.

Untuk menghindari keharusan tersebut, banyak perusahaaan yang menempuh jalan tengah dengan memborongkan pengadaan tenaga kerja kepada perusahaan lain. Aritonang mengatakan, akibat dari praktek jalan tengah itu, banyak tenaga kerja outsourcing yang tidak mendapatkan fasilitas keselamatan kerja seperti yang diberlakukan perusahaan terhadap tenaga kerja asing dan tenaga tetap.